NEW Model Blog Education, SBMPTN,USM,UTUL UGM,SIMAK UI ,STAN,STIS.

Sunday, April 10, 2016

Memahami Fotografi Jurnalistik

| Sunday, April 10, 2016
Memahami Fotografi Jurnalistik

Assalamualaikum.
 Berikut ini adalah artikel yang berisi fotografi dalam dunia jurnalis.Terkait dalam materi ini berdasarkan materi diklat yang diadakan di Kota Malang Seprov tingkat smp Tahun 2014 lalu. Semoga artikel ini bermanfaat bagi anda silahkan mempelajari artikel ini...









Fotografi Jurnalistik adalah foto yang memiliki nilai berita atau menjadi berita itu sendiri, melengkapi suatu berita dan dimuat dalam suatu media. Foto jurnalistik harus didukung oleh caption yang berisi penjelasan dari foto. Beberapa makna fotografi jusnalistik dari berbagai sumber: 
1.
Menurut Wilson Hick redaktur senior majalah ’Life’ (1937-1950) dalam buku World and Pictures, foto jurnalistik adalah media komunikasi verbal dan visual yang hadir bersamaan.
2.
Menurut Henri Cartier-Bresson, pendiri agen foto terkemuka di dunia dengan teorinya Decisive Moment, foto jurnalistik adalah berkisah dengan sebuah gambar, melaporkannya dengan sebuah kamera, merekamnya dalam waktu, yang seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra tersebut mengungkap sebuah cerita.
3.
Menurut Oscar Motulohm, fotografer professional, foto jurnalistik adalah suatu medium sajian informasi untuk menyampaikan beragam bukti visual atas berbagai peristiwa kepada masyarakat seluas-luasnnya secara cepat.
4.
Menurut Zainuddin Nasution, tokoh foto jurnalistik asal Surabaya, foto jurnalistik adalah jenis foto yang digolongkan foto yang tujuan pemotretan karena keinginan bercerita kepada orang lain. Jadi foto-foto jenis ini berkepentingan dalam menyampaikan pesan kepada orang lain dengan maksud agar orang lain melakukan sesuatu tindakan psikologis.
5.
Dalam buku serial Photojournalistic yang diterbitkan oleh Time Life diungkapkan bahwa,  foto-foto yang dihasilkan oleh para wartawan foto seperti yang ada di media massa adalah pers foto foto berita yang penekanannya pada perekaman fakta otentik. Misalnya foto yang menggambarkan kebakaran, kecelakaan, pengusuran dll. Foto-foto itu, ingin menceritakan sesuatu yang akan membuat orang memberikan feed back dan bertindak.

Foto jurnalistik memiliki pesan yang jelas dari sebuah peristiwa, tetapi dibuat dengan kemampuan teknologi secara otentik.



Foto, apa menariknya dibandingkan tulisan?
Foto, apa keunggulannya?
Orang yang buta huruf, pastilah tidak bisa membaca tulisan. Sedangkan orang yang buta huruf, tentu masih bisa menikmati keindahan sebuah foto. Artinya jangkauan karya foto lebih universal ketimbang karya tulis. Ia tidak perlu diterjemahkan dalam bentuk kata-kata atau bahasa. Cukup dengan foto, semua orang sudah bisa menangkap makna sejati di balik foto tersebut. Nah, jadi kekuatan foto itu terletak pada gambarnya itu sendiri.
Mari kita bahas tentang dunia fotografi dalam waktu yang sekejab ini. Berita foto adalah karya jurnalistik yang mengandalkan pada foto-foto yang diambil oleh para fotografer. Pada zaman modern ini, di mana sekarang handphone saja bisa digunakan untuk memotret, kemudian harga kamera digital semakin murah bahkan hanya mencapai Rp 500 ribu, semakin memudahkan bagi siapapapun juga menjadi fotografer.
Fotografer adalah orang-orang yang menghasilkan karya foto dengan bantuan alat pengambil gambar seperti kamera, handphone, laptop dan alat pengambil dan penyimpan foto lainnya. Para jurnalis online juga berhak menampilkan karya foto mereka untuk dipublikasikan di berbagai media massa cetak dan elektronik.
Di dunia penerbitan, dikenal beberapa jenis foto berdasarkan fungsinya dalam pemberitaan. Yakni foto dokumentasi dan foto jurnalistik (foto berita). Sebagai pelengkap artikel atau berita, foto yang ditampilkan bersifat melengkapi atau dikenal juga sebagai ilustrasi. Ada foto ilustrasi pasif dan ilustrasi progresif. Sebagai contoh artikel mengenai keindahan Indonesia dapat menampilkan foto pemandangan sawah yang menghijau atau bisa juga dengan menampilkan Gunung Merapi. Ilustrasi foto ini masuk dalam kategori ilustrasi pasif. Bila artikel/berita menyinggung masalah transportasi di Jakarta, lantas ditampilkan foto kemacetan lalu lintas di Jalan Malioboro Yogyakarta, inilah foto ilustrasi progresif.
Foto berita adalah sebuah foto yang dapat berdiri sendiri hanya dengan sebuahcaption ringkas, namun sangat deskriptif. Sehingga mampu menginformasikan banyak perihal pesan yang disampaikan melalui pemotretan objek dalam foto berita tersebut. Foto macam ini disebut sebagai foto yang bernilai jurnalistik. Contoh, foto seorang mahasiswa yang mengekspresikan wajah histeris di tengah kerumunan demonstran dengan latar belakang aparat keamanan yang dengan sangkur terhunus mengusir demonstran. Biasanya foto jurnalistik akan menempati halaman terdepan pada sebuah surat kabar, yang luasnya bisa 4-5 kolom. Bagi para jurnalis, foto jurnalistik model di atas pasti menjadi berita foto headline. Cukup spektakuler untuk dapat menjadi fokus berita edisi hari tersebut.
Agar menghasilkan foto berita yang bermutu baik, diperlukan dukungan kemampuan memotret melalui penguasaan teknik pemotretan. Di samping itu pengalaman menguasai medan sesuai situasi di lapangan juga sangat penting. Dalam menghadapi kondisi chaos, seorang fotografer harus mampu menggunakan keterampilan memotretnya untuk menguasai keadaan, sehingga dengan situasi macam apapun tetap dapat menghasilkan gambar yang memenuhi kriteria jurnalistik.
Beberapa hal perlu dikuasai secara khusus, di samping kemampuan teknik standar seperti pemilihan bukaan rana, menentukan kecepatan yang sesuai serta pengambilan jarak terhadap objek. Hal-hal khusus ini meliputi pemanfaatan momentum yang datangnya kadang-kadang mendadak, spontan dan sangat singkat. Seperti dalam olahraga misalnya, peristiwa bobolnya gawang kesebelasan yang sedang bertanding merupakan momentum yang selalu dinantikan para fotografer atau wartawan olaahraga. Tetapi mereka juga tidak tahu kapan momentum tersebut akan terjadi.
Kondisi khusus lain menyangkut teknik penentuan sudut pemotretan (angle). Pengambilan gambar yang frontal kurang memberi efek dramatis dan tidak menampilkan dimensi yang membuat foto tersebut “bernyawa”. Menyangkut penguasaan teknik pencahayaan, gradasi cahaya yang dapat diprediksi pemunculannya dalam gambar, juga akan memberi nuansa dramatis yang ikut menentukan kadar mutu sebuah foto bernilai berita atau tidak.
Untuk menjadi seorang wartawan foto profesional memang tidaklah mudah. Di samping membutuhkan talenta yang kuat, juga harus dibarengi dengan motivasi dan penguasaan keterampilan untuk menunjang pengembangan kariernya. Jam terbang yang cukup lama dalam menggeluti sebuah profesi merupakan bukti ketekunan dan keuletan dari seseorang dalam mengabdi kepada tugasnya sebagai seorang fotografer profesional.
Dengan demikian, dapat disimpulkan sejumlah tips membuat berita foto yang bermutu baik bagi para calon fotografer adalah:
o     Memahami alat kerja kamera dan alat pengambil gambar lainnya. Hal ini dilakukan untuk memudahkan bagi setiap pewarta warga dalam mengoperasikan kamera yang dimiliki. Bagi para calon jurnalis tidak usah muluk-muluk memiliki kamera sebagaimana model kamera besar yang dimiliki para fotografer olahraga. Cukuplah bermodalkan kamera digital yang super murah, sudah bisa diandalkan dalam menghasilkan berita foto yang menarik.
o     Memahami teknik, komposisi dan sudut pandang pengambilan gambar, sehingga mampu menghasilkan karya foto yang mempunyai nilai berita. Kalau kamera yang dimiliki para calon jurnalis hanya kamera digital yang kemampuan bidikannya terbatas, maksudnya hanya bisa mengambil gambar dengan jarak maksimal tidak lebih dari 8 meter, maka mereka harus pandai-pandai dalam mengambil momentum dan kefokusan. Dengan cara demikian, mereka harus “berperang” dengan jarak pendek, karena kemampuan kamera yang terbatas tersebut. Maksudnya jarak antara objek/subjek yang dibidik dengan posisi pembidik (fotografer) harus relevan dengan jarak toleransi di atas.
o     Selalu berlatih melakukan pengambilan foto tanpa pernah mengenal bosan. Dan harus muai dari sekarang mempublikasikan setiap hasil karya fotonya ke berbagai media massa.
Itulah tiga tips yang bisa dipraktikkan para jurnalis dengan menghasilkan foto-foto yang memiliki nilai berita. Selamat berlatih menjadi seorang fotografer andal…(*)


  • Fotografer harus benar-benar akrab dengan peralatan mereka. Anda tidak perlu berpikir tentang hal sisi teknis. Mengambil banyak foto dan pemikiran Anda akan segera dikhususkan untuk gambar.
  • Pelajari subjek Anda dengan rasa ingin tahu dan jangan lupa latar belakang atau background.
  • Gunakan cahaya yang ada secara alami dan merekam adegan yang Anda lihat.
  • Cobalah untuk tidak mempengaruhi subjek Anda. Biarkan mereka bersikap seolah-olah Anda tidak ada. Foto itu akan lebih ril.
  • Kamera adalah alat sederhana: jangan terbawa dengan gadget.
  • Kemajuan teknologi kamera berarti bahwa kesalahan yang jarang terjadi tetapi jika Anda membuat satu kesalahan, belajarlah dari itu.
  • Penggunaan perangkat lunak komputer untuk meningkatkan gambar dan tidak berlebihan.
  • Keterangan perlu meningkatkan dan menjelaskan gambar Anda dan harus 100 persen akurat. Selalu periksa ejaan nama.
  • Berbicara dengan orang: mereka penuh dengan informasi yang berguna.
  • Menang penghargaan foto Anda tidak ada gunanya jika mereka tidak terlihat di meja gambar sebelum batas waktu. Memahami bagaimana untuk mengirimkan gambar Anda dalam segala situasi.


  • Selalu kamera berada dengan Anda, 
Simpan kamera pada mode Program dengan kartu memori dan baterai penuh, dalam hal terjadi sesuatu dengan cepat dan tak terduga (kadang-kadang bahkan ketika Anda tidak bekerja atau di jalan untuk cerita lain) sehingga Anda membidik langsung. Meskipun saya menembak menggunakan mode Manual, kamera saya diatur pada Program ketika di tas saya, jadi saya bisa bereaksi cepat jika diperlukan dan selalu mendapatkan bidikan
  • Compose hati-hati
Kebanyakan orang hanya melihat gambar (apakah itu dalam surat kabar atau majalah dll) hanya 3 detik. Jadi, jangan berpikir apa yang dapat dimasukkan ke dalam gambar tetapi berpikir jika apa yang ada di gambar ini benar-benar diperlukan untuk bercerita. Meninggalkan yang tidak perlu, gangguan atau benda yang mengganggu, yang bukan bagian dari cerita Anda mencoba untuk memberitahu. Selalu berkonsentrasi pada latar belakang Anda - gunakan aperture Anda untuk membuang benda-benda mengganggu keluar dari fokus.
  • Bidik dengan hati Anda
Seorang wartawan foto yang baik memiliki banyak empati dan dapat menempatkan dirinya / dirinya di sepatu subjek. Jika Anda tidak merasa Anda tidak akan dapat membangkitkan emosi dari penampil Anda. Ini mengatakan, Anda masih harus cukup kuat untuk mendapatkan bidikan, bahkan jika itu sulit - ingat bahwa gambar Anda mungkin mengubah hidup seseorang.

  • Tetap netral
Selalu mencoba dan menceritakan kisah yang benar untuk hidup dan sejujur mungkin. Ini penting untuk tetap netral, tidak terlibat secara pribadi jika memungkinkan. Dapatkan bidikan, tapi sebelum Anda mengirimkannya ke meja berita atau memberikannya untuk publikasi, pertimbangkan jika yang diterbitkan akan lebih berbahaya atau baik. Ya, Anda masih ingin pekerjaan Anda, tetapi akhirnya Anda akan berada di bawah gambar itu dan akhirnya tanggung jawab terletak pada fotografer - banyak surat kabar dan publikasi lainnya hanya setelah sensasi. Ingat ada perbedaan besar antara wartawan dan paparazzi.
  • Bersiaplah
Setiap wartawan harus tahu bahwa mereka mungkin akan melihat banyak adegan meresahkan dan sakit hati, sayangnya itu hanya bagian dari kehidupan. Untungnya menjadi seorang fotojurnalis berarti Anda juga akan menangkap hal-hal indah dalam hidup, tetapi hanya bersiaplah untuk melihat kesedihan juga - dan tahu bahwa dengan melihat orang lain sakit hati Anda akan tersentuh juga.
Selalu mendapatkan tembakan tetapi selalu menjadi orang baik dan sopan dan tidak pernah mendapatkan di jalan polisi, darurat servies dll, mencoba untuk melakukan pekerjaan mereka. Jika Anda mendapatkan sebuah adegan kecelakaan atau situasi yang ekstrim dan Anda pertama atau diminta untuk membantu, itu tugas Anda untuk membantu terlebih dahulu dan kemudian mendapatkan tembakan Anda. Tidak ada kehidupan, termasuk Anda, adalah layak dicoba. Ingat Anda adalah manusia pertama, kedua jurnalis foto.
  • Sensitivitas jumlah
Ketika Anda harus menutupi hal-hal yang menyedihkan dan mengganggu dalam kehidupan peka terhadap orang yang Anda memotret dan keluarga mereka, terutama jika ada korban jiwa. Jadilah sensitif dalam cara Anda bercerita. Ada banyak cara untuk menggambarkan kebrutalan, kekerasan, kesedihan dan kematian sementara masih sensitif. Di sini sekali lagi Anda dapat menggunakan teknik Anda masih menceritakan kisah Anda tanpa menunjukkan rincian lebih berdarah dari yang diperlukan. Anda harus menceritakan kisah penuh, jadi mempercayai penilaian Anda - dalam situasi tertentu tidak ada aturan atau arah, tetapi Anda akan tahu apa yang benar.
  • Tahu hak Anda dan aturan
Anda perlu untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk di atas hak-hak Anda sebagai wartawan (kapan dan di mana Anda diperbolehkan untuk menembak, hak cipta dll) Kadang-kadang orang dengan otoritas akan mencoba dan mencegah Anda dari mendapatkan bidikan, bahkan jika Anda benar-benar dalam hak Anda untuk melakukan sehingga - dalam kebanyakan kasus seperti itu mereka memiliki sesuatu yang disembunyikan. Media adalah pengawas dari masyarakat, sehingga kadang-kadang perlu untuk berdiri di tanah dan mendapatkan cerita.
  • Mulai dengan lebar, kemudian mendekat
Apakah Anda meliputi cerita memukul keras berita atau film dokumenter di sebuah LSM, selalu memulai lebar dan kemudian pergi 'lebih dekat'. Hirarki dimulai dengan informasi dan konteks adalah salah satu elemen yang paling penting tembakan berita harus memiliki. Kemudian Anda berkonsentrasi pada pencahayaan dan sudut dan komposisi, dan kemudian emosi. Tentu saja, setiap wartawan yang baik berusaha untuk mendapatkan gambar yang menceritakan cerita, ketika sedang sempurna terdiri dengan pencahayaan yang menakjubkan, kecemerlangan teknis dan membangkitkan emosi dari penampil yang fotografer merasa ketika mereka menekan tombol rana.
  • Jaga konteks
Jangan pernah memanipulasi gambar Anda dengan cara apapun yang mengubah konteks mereka. Wartawan harus mencoba dan membidik sedemikian rupa sehingga tidak ada editing setelahnya diperlukan, tapi itu sesuatu yang berusaha untuk mencapai. Anda tidak harus mengambil gambar apa pun Anda, yang mengapa begitu penting untuk melihat latar belakang Anda saat memotret.
  • Tetap up-to-date
Baca berita dan membuatnya menjadi prioritas untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di dunia. Itu akan membantu Anda menemukan cerita menarik dan berita-terkait atau dokumenter.
  • Tahu subyek Anda
Jika memungkinkan, menghabiskan waktu bersama orang yang Anda mendokumentasikan sebelum Anda mengambil kamera Anda. Kadang-kadang lebih baik untuk mengenal orang-orang sedikit dan mendapatkan kepercayaan mereka, sebelum Anda mulai mengambil gambar ...
  • Backup segera
Download dan cadangan sesegera mungkin, terutama setelah berita. Serta memastikan gambar Anda aman, Anda tidak pernah tahu kapan Anda mungkin akan dipanggil lagi dan apa waktu Anda akan kembali. Hal terakhir yang Anda inginkan adalah mendapatkan panggilan dari meja berita saat Anda berada di sebuah cerita yang menarik dan harus kembali hanya untuk men-download.
  • Pelajari cara membidik tanpa tripod
Seringkali tripod tidak praktis untuk foto jurnalistik, sehingga Anda perlu belajar untuk pegangan dengan benar. Hembuskan napas sebelum Anda menekan tombol rana dan mencoba dan mendukung kamera Anda masih ekstra dengan memegang tangan Anda dekat dengan tubuh Anda atau beristirahat terhadap sesuatu yang kokoh.
  • Gunakan cahaya yang tersedia
Bila memungkinkan, gunakan cahaya yang tersedia, karena ini akan membantu Anda untuk kadang-kadang mendapatkan gambar tanpa diketahui. Jadilah seperti yang mungkin mengganggu, menangkap momen nyata dan jujur. Jika Anda harus menggunakan flash, selalu mencoba untuk bangkit itu, untuk menghindari bayangan di bawah mata dan dagu. 

 


FOTOGRAFI JURNALISTIK

  1. Pengertian Foto Jurnalistik
Terdapat beberapa pengertian mengenai fotografi jurnalistik yang dikemukakan oleh para ahli fotografi. Menurut Hanapi yang dimaksud dengan fotografi jurnalistik yaitu kegiatan fotografi yang bertujuan merekam jurnal peristiwa-peristiwa yang menyangkut manusia. Wilson Hick dalam bukunya Word and Picture memberi batasan fotografi jurnalistik adalah  media komunikasi verbal dan visual yang hadir bersamaan. Sedangkan Soelarko mendefinisikan foto jurnalistik sebagai foto berita atau bisa juga disebut sebagai sebuah berita yang disajikan dalam bentuk foto. Sementara itu Oscar Motuloh, fotografer senior Biro Foto LKBN Antara Jakarta menyebut foto jurnalistik  adalah medium sajian untuk menyampaikan baragam bukti visual atas suatu peristiwa pada suatu masyarakt seluas-luasnya, bahkan hingga kerak dibalik peristiwa tersebut, tentu dalam waktu yang sesungkat-singkatnya.
Dilihat dari beberapa pengertian yang ada maka foto jurnalistik dapat disebut sebagai suatu sajian dalam bentuk foto akan sebuah peristiwa yang terjadi, di mana peristiea tersebut berkaitan dendan apek kehidupan manusia dan disampaikan guna kepentingan manusia itu sendiri. Kepentingan manusia dalam hal ini berupa kebutuhan akan informasi atau juga beita yang terjadi di seluruh belahan bumi ini.
Syarat umum untuk membuat foto berita dengan baik adalah:
  • § Memiliki pengetahuan konspesional;mempersoalkan isi (picture content, news content)
  • § Memiliki  keterampilan teknis: mempersoalkan penyajian teknis yang matang secara fotografi.
Foto-foto yang dimuat dalam surat kabar memang tidak selalu menggambarkan suatu peristiwa atau berita (newsphoto), melainkan bisa juga bersifat ilustratif, yaitu bisa berdiri sendiri atau menyertai suatu artikel, termasuk di dalamnya adalah foto-foto yang bersifat ‘human interest’ (menarik perhatian dan membangkitkan kesan). Foto-foto yang dimuat dalam surat kabar itu secara ‘salah kaprah’ biasa disebut sebagai foto jurnalistik, artinya foto yang dihasilkan oleh kerja jurnalis (wartawan)  di lapangan.
Suatu foto memang tidak bisa melukiskan keterangan-keterangan verbal yang diperoleh wartawan di lapangan, tapi dengan kemampuan visualisasi yang disuguhkan, sebuah foto bisa mengungkapkan pandangan mata yang sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Berbeda dengan berita tulis di mana wartawan bisa secara tidak sengaja memasukkan subjektivitas yang bisa memengaruhi opini. Dengan foto akan memperkecil subjektivitas tersebut.Kepada pembaca disuguhkan secara visual apa adanya. Pembaca akan memberi penafsiran terhadap foto tersebut; yang tentu saja satu dengan lainnya bisa berbeda. Maka tidaklah salah ungkapan “one picture is worth one thousand words”
  1. Sekilas sejarah Foto Jurnalistik
Sudah sejak lama, setelah media massa cetak yang berbentuk suratkabar muncul, orang memimpikan bagaimana bisa melihat peristiwa/kejadian secara visual lewat lembaran kertas itu.  Harapan itu menggebu teruatama setelah fotografi ditemukan tahun 1839 yaitu ketika Akademi Ilmu Pengetahuan Perancis pada 19 Agustus mengumumkan penemuan alat gambar sinar oleh seniman Louis Jacques Daguerre. Alat temuan Daguerre itu masih sederhana berupa sebuah kotak diberi lensa dan dibelakang diberi plat logam yang sudah dilabur dengan bahan kimia tertentu. Alat itu disebut ‘camera obscura’ atau kamar gelap, yang kemudian secara umum disebut kamera.
Orang pun masih kesulitan memerolah jalan atau cara bagaimana memindahkan gambar yang dibuat oleh kamera Daguerrotype itu ke dalam surat kabar.
Setelah direkayasa maka muncullah jurnalistik foto pertama kali yaitu ketika “The Illustrated London News” untuk pertama kalinya 30 Mei 1842 memuat spotnews atau gambar lukisan (hasil cukilan kayu) yang merupakan reproduksi sebuah foto yang dihasilkan oleh kamera  daguerrotype. Gambar tersebut merupakan spotnews atau peristiwa langsung yang menggambarkan saat terjadi pembunuhan (penembakan) dengan pistol atas diri Ratu Victoria di dalam keretanya.
Dalam sejarah tercatat dua wartawan foto perintis yang sangat terkenal, yaitu  Roger Fenton (Inggris) yang meliput Perang Krim (1853-1856) dan Mattew Brady (AS) yang meliput American Civil War (perang Abolisi) tahun 1861-1865. Brady membawa peralatan lengkap ke garis depan. Perlenggkapan itu dimuat dalam satu wagon (kereta kuda) sendiri, di mana  di dalamnya  terdapat laboratorium dan kamar gelapnya.
Karena belum ditemukannya cara membuat nada warna abu-abu atau ’halftones’ dalam surat kabar, maka sampai tahun 1897 gambar yang dimuat masih saja dibuat dari cukilan kayu. Baru 21 januari 1897 koran ”Tribune” New York benar-benar memuat foto di dalamnya. Ini dimungkinkan berkat ditemukan sistem penggunaan titik-titik (dots) yang kita kenal sekarang dengan sebutan ’raster’ untuk membuat nada-nada warna ’halftones’tadi.
  1. Foto Jurnalistik Yang Menarik
Sejak itulah pemuatan gambar di surat kabar menjadi semakin tambah banyak dan mulailah redaksi mempertimbangkan perlunya mangadakan tugas khusus bagi wartawannya hanya untuk pekerjaan memotret saja, artinya hanya mencari gambar melulu. Spesialisasi mulai diberlakukan di dunia persuratkabaran maju. Sesudah ada spesialisasi itu , maka para pakar atau jurnalis mulai memerhatikan apa sebenarnya yang sangat menarik dari sebuah foto yang patut untuk dimuat di surat kabar.
Dari hasil pengamatan mereka, disimpulkan bahwa gambar/foto jurnalistik yang menarik itu harus mempunyai tiga aspek utama : daya tarik visual (eye catching), isi atau arti (meaning) dan daya tarik emosional (impact).
Namanya saja foto berita maka norma-norma atau nilai-nilai yang disandang suatu berita (tulis) yang menarikpun juga dituntut bagi sebuah newsphoto; seperti faktor-faktor yang menambah nilai/bobot foto tersebut, antara lain : sifatnya menarik (interesting), lain dari biasanya (different), satu-satunya (exlusive), peristiwanya dekat dengan pembaca (close to the readers), akibatnya luas, mengandung ketegangan (suspense) dan menyangkut masalah sex, humor, konflik dll.
Dari batasan-batasan foto jurnalistik itulah maka kemudian para jurnalis foto memfokuskan perhatinnya pada hal-hal yang tersirat di dalam kriteria  itu. Untuk menjadikan diri sebagai jurnalis foto profesional maka seorang wartawan perlu memerhatikan hal-hal tersebut, disamping mesti memperdalam pengetahuan dan memperbanyak pengalaman.  Seorang wartawan foto dituntut tahu benar tentang kamera dan proses fotografi, tahu pula memanfaatkan kesempatan yang baik untuk kameranya serta harus cekatan agar tidak tertinggal oleh peristiwa. Wartawan foto mesti mampu mengkombinasikan kerja mata, otak dan hati dalam tugasnya. Sebagaimana tujuan surat kabar yaitu memberikan kepada pembacanya informasi, edukasi, entertaintment dan (bisa) persuasi, maka bidang cakupan wartawan foto sangatlah tidak terbatas. Apa saja yang bisa memenuhi salah satu saja dari keempat kriteria tersebut dapat disajikan. Jadi  dalam hal ini si wartawan-lah yang memegang peranan penting. Ada ungkapan ’the singer is not the song’ atau ’the man behind the gun’. Bukan objek fotonya yang menarik tapi bagaimana kemampuan si wartawan mengungkapkan dalam foto. Bukan kameranya yang hebat, tapi bagaimana kepiawaian sang wartawan foto menghasilkan gambar yang memenuhi banyak kriteria tersebut di atas.
  1. Kategori dan Bidang-bidang Foto Jurnalistik
Kategori Foto jurnalistik meliputi :Spot News, Feature, General News, Tokoh, Keseharian, Seni budaya dan Fashion, Alam dan Lingkungan, IPTEK, dan Olahraga.Sedangkan bidang-bidang yan ada dlam foto jurnalistik di antaranya adalah : War Correspondent ( Wartawan Perang ), Wartawan Foto Olah raga, Glamour dan Pin –Up Fotografi, Fashion Fotografer, wartawan Foto Majalah, General Interest.
  1. Makna dan Peranan Foto Jurnalistik
Ruang lingkup foto jurnalistik adalah manusia, dan karena itu kehadiran foto jurnalistik memiliki beberapa makna yang berperan dalam kehidupan manusia, diantaranya yaitu : foto jurnalistik sebagai saksi mata, fotografi jurnalistik sebagai lambang, foto jurnalistik sebagai himbauan dan foto jurnalistik sebagai komentar sosial.
  1. Tokoh –Tokoh Foto Jurnalistik
Tokoh-tokoh dunia di bidang foto jurnalistik antara lain : Edward Steichen, Alfred Stieglitz, Alfred Eisenstaedt, Henry Cartier Bresson, Eugene Smith, Andre Friedman, Carl Mydans, Eliot Elisofon, John Dominis, Ernst Haas, Co Rentmeester, Mike Wells, dan David Burnet.
  1. Perbedaan Foto Jurnalistik dengan Foto Dokumentasi
Kehadiran foto jurnalistik tak lain merupakan wujud dan perkembangan foto dokumentasi, oleh karena itu foto dokumentasi merupakan dasar dari foto jurnalistik yang ada pada saat ini. Foto dokumentasi adalah sebutan untuk foto berita dan foto sejarah, karena tujuannya merekam suatu peristiwa untuk disimpan bergantung  pada urgensitas peristiwa dan subjek foto yang diabadikan.
Antara foto jurnlistik dengan foto dokumentasi memiliki perbedaan dan batasan yang sangat tipis. Nilai berita pada sebuah foto biasanya terletak pada sejauh mana foto itu dapat menggugah perhatian dari khalayak umum, bukan hanya orang atau kelompok masyarakat yang bersangkutan. Nilai tersebut bisa disebut sebagai publik interest, maka semakin tinggi nilai beritanya.  Foto jurnalistik memiliki nilai berita yang sangat tinggi karena dapat menimbulkan perhatian perasaan bahkan reaksi tertentu pada  semua khalyak umum secara luas.
Berbeda pada foto dokumentasi, arti kata dokumentasi mengandung konotasi yang lunak dalam hal nilai beritanya. Selain perbedaan, di antaranya foto jurnalistik dan foto dokumentasi memiliki persamaan yaitu dari segi tujuan foto terserbut. Tujuan kedua foto jurnalistik dan foto dokumentasi merekam suatu peristiwa untuk disimpan sebagai arsip.
Menurut Hermanus Priatna ( Editor Foto di Biro Foto LKBN Antar 0 menyatakan bahwa foto jurnalistik dan foto dokumentasi memiliki perbedaan. Pada foto jurnalistik, peristiwa diabadikan untuk secepat-cepatnya disampaikan kepada khalayak melalui media massa, sedangkan foto dokumentasi mengabadikan peristiwa untuk kepentingan pribadi, misalnya foto-foto untuk keperluan instansi pemerintah atau individual.
  1. Petunjuk Praktis
Untuk wartawan foto atau calon, Kenneth Blume, seorang wartawan foto dan penulis pada harian ‘Courier-Crecent’ (Ohio, AS) memberi penegasan, bahwa gambar yang baik pada surat kabar adalah yang segera menarik perhatian pembacanya. Berdasar pengalamannya dia memberikan petunjuk praktis bagaimana sebaiknya membuat foto berita itu.
  • § Usahakan tidak menampilkan lebih dari lima orang dalam satu gambar.
  • § Biarkan gambar kelihatan natural (alami/apa adanya), jangan dibuat-buat atau direkayasa.
  • § Lebih baik menghabiskan banyak frame untuk memungkinkan banyak pilihan dari pada tidak mendapat gambar yang baik.
  • § Usahakan tidak memuat gambar ”police line up” (beberapa orang disejajarkan menghadap lensa dengan latar belakang tembok kosong).
  • § Gunakan background atau latar keliling untuk menambah daya tarik dan memudahkan pembaca mengenal lokasi atau posisi kejadian.
  • § Untuk menamba variasi atau daya tarik lain, bisa memotret dengan gaya ’frog eyes’ atau ’bird view’.
  • § Gunakan penerangan alami atau bounced flashlight (sinar blitz yang dipantulkan ke langit-langit). Kalau bisa hindari penggunaan lampu kilat langsung.
  • § Usahakan untuk menunjukkan situasi beritanya, kalau mungkin.
Namun sukses surat kabar dalam menyajikan gambar lebih banyak bergantung kepada editor fotonya yang memberi  perintah (assignment) kepada fotografer dan memilih foto-foto yang masuk di mejanya, dan melakukan cropping kalau perlu.

Dalam membuat foto, seorang jurnalis harus memperhatikan beberapa unsur seperti :
1. Jujur, tidak direkayasa
2. Sarat informasi, memberi pesan berharga
3. Memberi perhatian pada kehidupan
4. Memiliki kandungan berita terekam wajar dan layak dipublikasikan

Karakteristik foto jurnalistik juga harus dipahami oleh Jurnalis, yaitu :
1.       Dasar foto jurnalistik adalah gabungan antara gambar dan kata. Keseimbangan data tertulis pada teks adalah mutlak. Caption sangat membantu suatu gambar bagi masyarakat.
2.        Medium foto jurnalistik biasanya tercetak, sebagaimana adanya, disajikan secara sejujur-jujurnya, komunikatif, jelas dan mudah dipahami.
3.        Lingkup fotojurnalistik adalah manusia
4.       Bentuk liputan foto jurnalistik adalah suatu upaya yang muncul dari bakat dan kemampuan seorang fotojurnalis yang bertujuan melaporkan beberapa aspek dari berita itu sendiri
Kriteria fotojurnalistik menjadi kandidat mengisi halaman media cetak harus dipertimbangkan oleh fotojurnalis yaitu :
1. Informatif
2. Aktual
3. Faktual
4. Relevan
5. Gema (Scope)
6. Misi
7. Otentik
8. Menarik
Sebuah karya foto dikatakan memiliki nilai jurnalistik jika memenuhi syarat jurnalistik yaitu memenuhi kreteria 5 W dan I H (What, Who, Why, When, Where dan How).

Foto Jurnalistik, Gabungan Gambar dan Kata


BISAKAH Anda membayangkan halaman koran yang tanpa foto satu pun ? Memang seakan sudah menjadi tradisi bahwa foto harus ada di koran terutama di halaman pertamanya. Selain untuk mempercantik perwajahan, foto adalah sebuah bentuk berita tersendiri.
Berita tulis dan berita foto punya pijakan masing-masing dan bisa saling melengkapi. Berita tulis memberikan deskripsi verbal sementara foto memberikan deskripsi visual. Sebagai gambaran, untuk menceriterakan besarnya pengangguran dalam bentuk angka-angka, jelas berita tulis lebih tepat untuk dipakai. Tetapi untuk memberitakan seperti apa indahnya sebuah tempat atau secantik apa wajah seorang bintang sinetron, jelas foto yang lebih bisa berbicara daripada tulisan.
Walau begitu, foto jurnalistik usianya jauh lebih muda daripada jurnalistik tulis. Huruf sudah dikenal manusia ribuan tahun yang lalu sementara usia fotografi sendiri belum sampai 200 tahun. Di awal abad belasan, di Inggris sudah dikenal surat kabar. Tapi fotografi baru masuk surat kabar pada akhir abad 19.
Persoalan mengapa foto jurnalistik tertinggal dari jurnalistik tulis semata karena masalah teknologi. Setelah fotografi ditemukan pada pertengahan abad ke-19, teknologi cetak belum bisa membawa foto ke Koran. Yang terjadi adalah, foto sebuah kejadian dijadikan berita dengan cara digambar ulang ke sketsa. Sketsa inilah yang lalu dibawa ke mesin cetak. Surat kabar pertama yang memuat gambar sebagai berita adalah The Daily Graphic pada 16 April 1877. Gambar berita pertama itu tentang sebuah peristiwa kebakaran.
Sejalan dengan kemajuan teknologi cetak, akhirnya foto pun bias ditransfer ke media cetak massal. Foto pertama di surat kabar adalah foto tambang pengeboran minyak Shantytown yang muncul di surat kabar New York Daily Graphic di Amerika Serikat tanggal 4 Maret 1880. Foto itu adalah karya Henry J Newton.
Demikianlah, foto jurnalistik memang masih seumur jagung dalam dunia jurnalistik secara umum. Namun perkembangannya sangatlah cepat bahkan kini kita sudah memasuki fotografi digital. Dengan fotografi digital, teori-teori fotografi lama masih banyak yang berlaku. Cara pemotretan dan teori pencahayaan tidaklah berubah. Yang berubah hanyalah prosesnya.
Kalau dulu film perlu dicuci terlebih dahulu, lalu diperlukan proses mencetak untuk mendapatkan gambarnya, kini begitu tombol rana selesai dipijit selesailah fotonya. Kini tidak diperlukan lagi jasa pos atau kurir untuk mengirimkan foto. Seorang fotojurnalis bisa mengirim fotonya lewat telepon genggam yang dibawanya ke medan perang.
Sebagai gambaran, pada Piala Dunia Sepakbola 2002 lalu, begitu sebuah gol terlihat tercipta dari siaran langsung televisi, lima menit kemudian foto gol itu dalam bentuk data digital sudah sampai di meja redaktur foto Koran-koran di seluruh dunia.
Percepatan pemakaian fotografi sebagai elemen berita dipacu besar-besaran oleh terbitnya Majalah LIFE di Amerika Serikat sekitar tahun 1930-an. Dunia foto jurnalistik bisa dikatakan berhutang besar kepada Wilson Hick yang menjadi redaktur foto pertama majalah itu selama 20 tahun lamanya. Hick adalah orang yang dianggap sebagai perintis kemajuan foto jurnalistik di dunia ini.
Wilson Hicks memang tidak pernah memotret tapi lewat ketajaman intuisinya dan kepemimpinannya lahirlah fotografer-fotografer kelas dunia seperti Elliot Ellisofon, Edward Steichen, Robert Capa dan beberapa lagi. Dari Hicks pulalah lahir dasar-dasar foto jurnalistik.
Apa itu foto jurnalistik ? Wilson Hicks menjawab dengan teorinya yang terkenal: Foto jurnalistik adalah gambar dan kata...
Kata dalam foto jurnalistik adalah teks yang menyertai sebuah foto. Kalau berita tulis dituntut untuk memenuhi kaidah 5W + 1 H (What Where When Who Why dan How), demikian pula foto jurnalistik. Karena tidak bisa keenam elemen itu ada dalam gambar sekaligus, teks foto diperlukan untuk melengkapinya. Seringkali, tanpa teks foto, sebuah foto jurnalistik menjadi tidak berguna sama sekali.
Sekali lagi, penggabungan dua media komunikasi visual dan verbal inilah yang disebut sebagai foto jurnalistik. Suatu ketika kita membaca sebuah surat kabar, yang pertama kita lakukan adalah melihat foto yang menarik, membaca teksnya, kemudian kembali melihat fotonya. Foto halaman pertama sebuah surat kabar adalah elemen terpenting untuk menjual edisi surat kabar di hari itu.
Kelebihan Foto
Seperti sudah disinggung di atas, pada hakekatnya foto punya kelebihan dibandingkan media oral. Selain mudah diingat, foto juga punya efek lain yang timbul jika kita melihatnya. Foto bisa menimbulkan efek bayangan yang lain tergantung dari siapa, pekerjaan, pengalaman, pendidikan, pengetahuan dan pengalaman dari orang yang melihatnya.
Karena itulah sebuah foto yang tidak menarik bagi seseorang pembaca, mungkin justru sangat menarik bagi pembaca lain. Sebagai contoh, foto olahraga American Football yang sangat bagus mungkin sangat menarik bagi pembaca di Amerika Serikat. Tapi bagi sebagian besar orang Indonesia, foto ini dilirik pun mungkin tidak.
Selain itu, untuk membuat foto yang menarik, kita harus membuat orang merasa mendapatkan sesuatu yang baru dari foto yang dilihatnya. Foto pembukaan sebuah seminar umumnya adalah foto orang memukul gong. Maka, di Indonesia, foto orang memukul gong sama sekali sudah tidak menarik lagi sebesar apa pun seminar yang menyertainya.
Karena itu, ada sebuah pedoman penting yang harus diingat saat membuat sebuah foto jurnalistik. Pedoman itu tertuang dalam ucapan fotografer Majalah LIFE Co Rentmeester yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 1970-an. Pada suatu ceramahnya, Rentmeester berkata, Buatlah foto yang lain daripada orang lain.
Petunjuk Rentmeester itu sangat tepat, apalagi untuk saat ini dimana foto jurnalis di Indonesia sudah sangatlah banyak. Pemilik kamera juga sudah tidak terhitung banyaknya. Kalau kita membuat foto yang sama dengan orang lain, sama sudut pengambilannya dan sama pula jenis lensanya, maka foto kita bisa dikatakan datar dan tidak menarik.
Perlu bagi seorang foto jurnalis untuk banyak-banyak melihat karya orang lain sebagai perbandingan dalam berkarya. Melihat karya orang lain, terutama melihat karya-karya yanag menang dalam sebuah lomba foto, kadang-kadang disalahartikan sebagai cari bahan untuk meniru. Padahal tidaklah demikian.
Melihat karya orang lain membuat kita punya gambaran kelas persaingan saat ini, juga punya gambaran umum akan baik buruk sebuah foto secara utuh. Pada orang yang berpikir terbatas, melihat karya orang lain memang membuatnya meniru angle dan gaya. Kreativitas sangat dituntut dalam kerja foto jurnalistik.
Untuk memberikan gambaran tentang kreativitas, mungkin kita masih ingat ceritera tentang pengeliling dunia Columbus yang ditantang untuk mendirikan sebuah telur ayam di atas meja. Saat Columbus memecahkan sedikit kulit telur untuk bisa membuatnya berdiri, orang lalu berkata, Ah, saya pun bisa.
Padahal, sebelum Columbus memecahkan telur itu, siapa pun mungkin tidak berpikir sampai ke situ. Demikian pula dalam fotografi. Kalau kita melihat sebuah angle foto yang bagus, kita mungkin berpikir,Apa sulitnya membuat yang begitu.. Padahal, kalau belum ada foto itu, belum tentu kita bisa membuat yang demikian.
Sementara itu, selain definisi yang diberikan Hicks di atas, dalam definisi yang lebih membumi, foto jurnalistik adalah foto apa pun yang pembuatan dan pemakaiannya melewati proses jurnalistik.
Peran Fotografi dalam Surat Kabar
Seorang pembaca bertanya, kalau pepatah yang mengatakan “Sebuah foto bernilai seperti seribu kata” itu benar, mengapa berita-berita di koran tidak diganti foto saja agar ringkas? Sebaliknya, ada pembaca lain yang bertanya, bolehkah sebuah surat kabar terbit tanpa sebuah foto pun?
Pertanyaan pembaca di atas amat menarik sebab selama ini telah terjadi banyak salah paham terhadap fungsi dan peran sebuah foto. Kalimat yang mengatakan bahwa sebuah foto senilai seribu kata itu sebenarnya cuma kiasan, namun sering disalahartikan orang karena dianggap sebagai “peribahasa” panutan. Dalam anggapan yang salah itu, sebuah foto dianggap selalu bisa menggantikan seribu kata-kata. Padahal tidak sama sekali.
Kenyataannya, foto memang mempunyai kelebihan dan keterbatasan tersendiri. Kalau berita secara umum harus mengandung 5W dan 1 H (what, who, when, where, why dan how, atau apa, siapa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana), sebuah foto sulit mengandung keenam hal itu sekaligus.
Sebuah berita bisa mengandung 5W dan 1H karena ia terdiri dari banyak kalimat. Sedangkan sebuah foto sulit mencakup keenam hal itu dalam sebuah media dua dimensi yang dimilikinya. Seorang fotografer pemula, dengan dibuai “peribahasa” di atas sering memaksakan agar foto karyanya mengandung keenam hal sekaligus, sehingga justru menghasilkan karya yang “kusut”.
Sebuah foto tidak selalu bisa menerangkan di mana kejadian itu terjadi, siapa yang ada di dalam foto, mengapa adegan dalam foto terjadi, bagaimana adegan dalam foto terjadi atau kapan kejadian itu terjadi, kalau tidak dilengkapi teks foto. Ini kelemahan sebuah foto.
Sebaliknya, foto mempunyai suatu dimensi yang tidak bisa dimiliki kata-kata, yaitu dimensi visual. Untuk menceriterakan wajah seorang wanita yang cantik, walau berjuta kata telah Anda gunakan, belum tentu orang lain bisa segera membayangkan seperti apa wajah wanita yang Anda ceriterakan itu. Namun dengan selembar foto, selesailah sudah penjelasan Anda. Untuk hal ini, betul bahwa sebuah foto menggantikan seribu kata.
Jadi harus dibedakan antara keunggulan sebuah foto dari sisi visual dan keterbatasan foto dari segi kemampuan naratifnya. Dalam kaitannya dengan foto di surat kabar, foto sebagai berita tidaklah bisa berdiri sendiri. Ia selalu membutuhkan keterangan, atau minimal judul foto.
Dalam konteks foto sebagai berita, yaitu di surat kabar, sebuah foto bisa menjadi elemen utama. Di sini yang terjadi adalah tanpa sebuah foto, sebuah berita menjadi tidak berarti. Contoh untuk hal ini adalah berita pencarian koruptor oleh polisi. Kalau foto sang penjahat tidak ikut dimuat, berita itu relatif tidak ada gunanya sebab kekurangan informasi visual tentang bagaimana wajah penjahat yang dicari itu.
Sebuah foto dalam media cetak juga bisa menguatkan isi sebuah berita. Misalnya berita yang dimuat adalah berita tentang kebakaran pasar yang dahsyat. Dengan menambahkan sebuah foto suasana reruntuhan pasar, pembaca bisa ikut membayangkan betapa dahsyatnya api yang berkobar. Gambaran visual memberikan dimensi tertentu pada berita yang dibuat untuk memancing emosi orang.
Sebuah foto, dengan dilengkapi keterangan atau caption, juga bisa mandiri sebagai sebuah berita. Contoh foto berita misalnya pemberitahuan bahwa sebuah foto memenangkan lomba tertentu.
Namun sering juga sebuah foto merupakan “sekadar” elemen pemanis dalam tata letak surat kabar. Bisakah Anda membayangkan halaman pertama surat tanpa sebuah foto pun? Pasti membosankan sekali menatap halaman yang melulu berisi huruf. Di sini foto berfungsi sebagai elemen estetis yang kuran maupun formatnya direncanakan dengan baik.
Sebuah surat kabar boleh saja tidak memuat satu foto pun, namun pasti tidak ada penerbit yang mau berbuat demikian karena koran itu pasti tidak akan dibeli orang. Terus terang, foto sering kali merupakan elemen penarik minat orang pada halaman satu.
Seperti telah disinggung, teks dalam sebuah foto jurnalistik adalah elemen yang membuat sebuah foto lengkap. Maka, peran teks ini tidaklah main-main. Judul foto, yaitu bagian pertama dari teks yang biasanya dicetak tebal, haruslah memberikan gambaran akan isi foto. Judul hendaklah tidak mengulangi info yang telah dilihat oleh mata.
Sebagai contoh, misalnya ada foto orang sedang bersalaman. Janganlah judul foto itu Bersalaman. Ini nyinyir kata orang. Judul yang lebih baik mungkin adalah Pertemuan dua tokoh, atau Usai peresmian pabrik.
Pemikiran tentang Fotografi Suratkabar
Dalam persuratkabaran, fotografi bisa dibagi dalam dua pemikiran. Pemikiran pertama adalah pemikiran yang berhubungan lay out, dan pemikiran kedua adalah pemikiran yang berhubungan dengan kerja jurnalistik itu sendiri.
Pada perwajahan, redaktur fotografi tidak bisa terlalu kaku untuk memaksakan pemuatan sebuah foto. Harus ada tawar-menawar dengan redaktur artistik untuk mendapatkan penampilan halaman terbaik, terutama untuk halaman pertama. Dengan tidak mengubah isi dan makna sebuah foto, seorang redaktur foto sebaiknya punya beberapa stok foto dan format untuk sebuah kejadian. Memang ada kalanya sang redaktur foto hanya punya satu saja foto untuk sebuah kejadian. Maka untuk keadaan seperti ini, redaktur artistik tidak bisa menawar lagi tapi harus merancang layout dengan satu foto yang ada itu.
Sebagai contoh, sebuah adegan sebaiknya memiliki format vertikal dan format horisontalnya. Stok foto wajah orang sebaiknya punya tiga arah memandang: kiri, kanan dan lurus ke depan (netral). Foto wajah yang diletakkan di kanan halaman sebaiknya menghadapi ke kiri, demikian pula sebaliknya.
Redaktur fotografi juga harus punya stok foto yang tidak basi oleh waktu. Sewaktu-waktu redaktur artistik meminta foto, redaktur fotografi harus bisa menyediakannya. Sering terjadi ada perubahan layout secara mendadak, dan sebuah foto dibutuhkan untuk membuat penampilan sebuah halaman menjadi lebih baik. Sebuah stopper atau pengisi halaman tidaklah harus berita. Bisa juga foto.
Foto sebagai Laporan
Sesuai dengan namanya, foto jurnalistik adalah foto yang “melaporkan” sesuatu. Jurnal adalah laporan, dan jusrnalistik adalah “sesuatu yang bersifat laporan”. Maka, foto apa pun yang melaporkan sesuatu bisa disebut sebagai foto jurnalistik.
Sebuah foto piknik buatan tahun 1970-an yang biasa-biasa saja, dibuat orang sangat biasa, mendadak pada tahun 1999 menjadi foto jurnalistik yang sangat menggigit. Masalahnya, dalam foto itu terlihat Gus Dur sedang memangku anak-anaknya.
Atau juga sebuah foto orang menambang emas yang biasa-biasa saja, sempat menjadi foto mahal karena penambangan emas itu di Busang, tempat yang sempat menghebohkan dunia internasional itu.
Seorang rekan fotografer juga mendadak dicari-cari orang karena dialah satu-satunya orang yang punya foto Zarima saat masih menjadi fotomodel pemula.
Foto piknik di cerita di atas baru menjadi foto jurnalistik setelah dimuat di sebuah media cetak. Kalau dia tetap tersimpan di laci, ia tetaplah sebuah foto piknik biasa.
Kategori Foto Jurnalistik
Dalam sebuah media cetak, foto terbagi dalam beberapa kategori yang semuanya memang foto jurnalistik.:
Pertama, foto hard news. Foto jenis ini misalnya foto bentrokan mahasiswa dengan aparat di depan DPR, atau foto Gunung Merapi meletus, atau foto pengungsi Sampi mendarat di Surabaya. Foto jenis ini sebaiknya dimuat di media cetak sesegera mungkin. Seperti juga berita, foto jenis ini punya masa pakai terbatas, bisa basi. Biasanya, foto jenis inilah yang disebut Foto Jurnalistik pada lomba-lomba foto.
Foto hard news ini punya otoritas sendiri, punya kekuatan sama dengan tulisan hard news yang menyertainya.
Kategori kedua adalah foto headshot dan portrait, yaitu foto orang untuk menguatkan berita atau untuk memberitahu pembaca wajah seseorang. Dengan tulisan, kita tidak mungkin menggambarkan wajah orang walau dengan sejuta kata pun. Namun dengan sebuah foto, wajah orang mudah diberitakan.
Kategori ketiga adalah foto features. Jenis ini adalah foto yang tidak basi oleh waktu. Pemuatan foto features ini bisa kapan-kapan tergantung sang media. Foto tipe ini misalnya foto-foto human interest tentang perempuan tua yang membawa kayu bakar, tukang becak yang tidur pulas dll.
Kategori keempat adalah foto ilustrasi. Foto jenis ini adalah foto yang paling rendah kelasnya dalam foto jurnalistik. Kalau perlu, tidak jadi dimuat juga tidak apa-apa. Jenis ini misalnya foto orang main Play Station untuk melengkapi tulisan tentang wabah Play Station. Kalau saja sang foto tidak jadi dimuat, sang tulisan tetap bisa berdiri sendiri. Sebuah foto ilustrasi sering diganti gambar ilustrasi yang dibuat ilustrator.


Related Posts

No comments: